Status “samar” perempuan akibat cerai gantung sebagai wujud bias gender



Dalam hukum positif telah dijelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Namun, kini
perkawinan menjelma menjadi perkawianan yang hanya sebagai sebuah komitmen untuk
penjamin rasa aman dari segala ancaman diri maupun lingkungan serta pemuas fantasi mimpi
yang telah dirajut sejak dini, maka tak ayal perkawinan bisa menjelma menjadi neraka.
Bahwa setiap anggota keluarga termasuk perempuan sebagai istri berhak atas rasa aman,
bebas dari perlakuan kekerasan dan penelantaran yang termasuk perlindungan perempuan dari
kekerasan. Pada zaman sekarang ini gagasan mengenai HAM merupakan pengembangan dan
penyeebarluaskan gagasan umum tentang kebebasan, keadilan dan hak-hak individu. Teori ini
merupakan bagian hukum Tuhan yang paling sempurna yang dapat diketahui melalui
penggunaan nalar manusia.
Sebagai mahluk yang diberikan keistimewaan seorang perempuan telah diberikan fitrah
dengan memiliki sifat kasih sayang yang diwujudkan dalam bentuk kelembutan sebagai wujud
penciptaan dari tulang rusuk. Islam telah mengajarkan terkait dengan kedudukan perempuan
sebagai istri yang telah dijelaskan dalam surat Ar-rum bahwa istri sebagai zauy yang berarti
pasangan, tidak bisa diartikan bebas sebagai bawahan. Wanita muslimah memiliki kedudukan
yang agung dengan tugas yang disandarkan kepadanya bahwa tidaklah benar ketika wanita yang
diciptakan sebagai pendamping kemudian disalahgunakan sebagai bawahan.Bahwa dalam perkawinan, perempuan mengabdikan dirinya sebagai istri yang taat
kepada suami, sehingga apapun yang suami minta dikerjakan dengan sepenuh hati sebagai
perwujudan konsep taat yang telah tertanam didalam diri. Hal demikian sejatinya merupakan
sebuah ancaman yang suatu saat akan meledak layaknya bumerang, bukan rahasia umum bahwa
kelak suami kerap melakukan kesewenang-wenangan kepada istri dengan dalih “
taat” tersebut.
Kondisi sistem patriarkial Indonesia yang menuntut perempuan menunggu kepastian
status dari pernikahnnya adalah sebuah rangka dikotomi untuk membuktikan laki-laki memegang
kuasa penuh atas perempuan, salah satunya adalah memberikan ketidakjelasan untuk
melanjutkan ataupun tidak melanjutkan pernikahan dengan
men-talak perempuan sebagai
istrinya, hal demikian memiliki dampak masif yang merupakan bagian dari kekerasan seksual
yang masuk dalam ranah kekerasan dalam rumah tangga.
Istilah kekerasan seksual adalah gambaran perbuatan yang dilakukan merupakan
serangan terhadap tubuh dan martabat kemanusiaan, ini terjadinya karena adanya ketimpangan
relasi dalam masyarakat yang membuat perempuan lebih sering menjadi korban. Artinya dalam
hal ini bahwa penelantaran serta status yang samar dalam perkawinan bagi perempuan yang telah
menjadi istri merupakan bagian dari kekerasan seksual karena telah menciderai martabat seorang
perempuan karena kekerasan tidak selalu berkaitan dengan bekas luka. Mengutip US News &
World report 2018 Indonesia tidak termasuk dalam list negara yang ramah perempuan Artinya
masih banyak yang perlu dibenahi di Indonesia untuk menjadi negara yang ramah terhadap
perempuan.
Ditelantarkan dengan ketidakjelasan hubungan yang dijalani merupakan kerugian bagi
perempuan, sangatlah bahaya ketika laki-laki merasa paling berkuasa, ini akan memunculkan
prespektif bahwa laki-laki tidak pernah salah dan berhak melakukan apapun yang akan memicu
terjadinya kekerasan. Bahwa penyebab utama terjadinya perilaku patriarki, segregasi, dan
dehumanisasi adalah bias penafsiran yang telah mengakar di masyarakat. Pandangan tersebut
menimbulkan streotipe negatif (
negative streotipe) terhadap perempuan.
Kerugian atas kejadian yang disering disebut sebagai
cerai gantung adalah kerugian yang
merambat dalam semua sektor mulai dari psikologi yang terganggu, ekonomi kehidupan
terhambat, hak kebebasan seseorang terampas serta kekerasan seksual karena telah menggantung
hak biologisnya. Telah jelas bahwa adanya aturan terkait hak dan kewajiban dalam peraturan
tertulis merupakan upaya agar tidak terjadi ketidakpastian yang nantinya justru akan
memberatkan salah satu pihak.
Salah satu hal yang bisa dilakukan ketika suami memberikan ketidakpastian akan status
perkawinan adalah dengan mediasi, jika memang mediasi dirasa gagal dan ingin tetap bercerai,
maka dapat mengajukan gugatan cerai gugat ke pengadilan dengan alasan yang berdasar. Bahwa
dasar alasan adanya gugatan adalah ketika terjadi perzinahan, 2 tahun menghilang, telah
dihukum penjara 5 tahun, cacat yang menghalangi kewajiban, terjadi perselisihan secara terus
menerus dan adanya penganiayaan atau kekerasan yang membahayakan pihak yang lain.
Dalam pemahaman perkawinan serta kekerasan yang keliru akan mengubah segala aspek
kehidupan, dari suka ke duka, tawa jadi luka dan bahagia jadi derita. Perempuan yang memilih
memendam prilaku suami yang menggantung status dirinya memiliki pemikiran bagaimana
kehidupan dirinya kelak atau mungkin memikirkan kehidupan anak-anaknya. Namun, pemikiran
demikian adalah pemikiran yang perlu diluruskan, dalam hal laki-laki yang menggantungkan
status istrinya adalah lelaki yang sudah enggan bertanggungjawab kembali, adalah lelaki yang
sudah membebaskan dirinya atas hal apapun yang mengikatkan dirinya dengan pernikahan.
Diam bukanlah pilihan yang tepat, ketika batin berkehendak maka logikapun akan turut
andil mencari jalan keluar. Terdapat hukum yang bisa ditempuh yang sifatnya tetap dan
mengikat. Perempuan dalam keadaan apapun masih akan tetap mulia dengan rasa cinta kasih dan
semua keistimewaannya. Tetapi, perempuan yang berani memilih, tegas dan berkomitmen adalah
perempuan yang melengkapi dirinya dalam kesempurnaan yang istimewa, karena semua butuh
kepastian dari memulai, mempertahankan ataupun melepaskan.

Komentar

Postingan Populer