BENTROKAN NILAI SOSIAL BUDAYA MERUPAKAN DASAR KRIMINOGEN
Problematika
social berkaitan dengan nilai social sebagai gejala yang mengganggu
kelangsungan dan ketertiban masyarakat, timbulnya permasalahan social. Timbulnya
permasalahan social dalam diri manusia atau kelompok social berasal dari factor
ekonomis, seperti pengangungar kemiskinan dan sebagainya, factor biologis
seperti penyakit, psikis seperti syaraf (neurosis), bunuh diri dan
disorganisasi jiwa. Adapun permasalahan social yang berasal dari factor kebudayaan
adalah perceraian, kejahatan, kekanak-kanakan, konfik rasial dan agama.[1]
Setiap
masyarakat selama hidupnya pasti mengalami perubahan, baik itu perubahan bagi
masyarakat yang bersangkutan maupun bagi orang yang menelaahnya yang kemudian
muncul sebuah perubahan mendasar pada masyarakat yaitu perubahan sosial
kebudayaan yang mana berkaitan dengan nilai-nilai sosial salah satunya [2]Nilai
Sosial budaya yang selama ini dikenal adalah sebagai nilai-nilai yang dimiliki
dan diterima oleh sebagian besar masyarakat dan berlaku dimasyarakat itu
sendiri.
Setiap
individu sering bertindak trial dan error (berbenturan)[3]
yang diakibatkan oleh suatu kekosongan norma yang hidup pada masyarakat dimana
norma lama dibuang sedangkan norma yang barupun belum ada. Selain itu budaya
sebagai pegangan tidak memberi nilai sehingga timbul bentroan satu sama lain
dan bentrokan ini mengakibatkan timbulnya suatu kejahatan.
Kondisi
sosial yang timbul tersebut sebagai akibat dari perkembangan kondisi sosial dan
kultural, yaitu akibat dari deferensiasi dan multipikasi kepentingan dan fungsi
masyarakat, gangguan alam sekitar fisik dan sebagainya. Disamping itu,
perubahan sosial menyebabkan terjadinya disorganisasi, yaitu proses melemahnya
norma-norma dalam masyarakat. Dapat dikatakan bahwa problema sosial sebagai
akibat dari penyimpangan terhadap norma-norma kemasyarakatan yang akan menjadi
beban masyarakat sendiri. Lahirnya perubahan anti sosial atau kejahatan didasari
atas gejolak yang timbul dalam diri pribadi dimana merasa tidak aman, kurang
mampu dan perasaan bermusuhan juga konflik atas gejala perkembangan sosial
tersebut.
Jeff
Ferrell sendiri dalam karyanya “Culture,
Crime, and Cultural Criminology” menguraikan
bahwa kriminologi budaya merupakan usaha untuk
menunjukkan dasar persamaan kebudayaan dan praktik kejahatan dalam masyarakat
sekarang, yaitu tingkah laku kolektif tentang perumpamaan, gaya dan makna
simbolik dengan rumusan legal dan rumusan politis penguasa yang menyebutkannya
sebagai kejahatan.[4]
Sutherland
dalam hipotesis sebagai hasil penelitiannya mengatakan terdapat empat gejala
dalam proses sosial yang mempunyai hubungan dengan timbulnya kejahatan dalam
masyarakat dan merupakan beberapa faktor yang berkolerasi dengan timbulnya
kriminalitas, diantaranya:
a. Differential social organization yaitu
mengetengahkan kehidupan masyarakat yang dalam masyarakat primitif, dimana pengaruh
keluarga sangat besar.
b.
Individualisme politik dan ekomomi, melihat perubahan pemikiran ideologi,
politik dan juga ekonomi membawa perubahan struktur
menunjukan adanya pergeseran norma, yang
menjurus pada pelanggaran ataupun kejahatan.
c.
Mobilitas sosial, kejahatan yang mudah terjadi karena revolusi industri dan
revolusi demokrasi terjadi secara mobilitas.
d. Konflik
kebudayaan, pentingnya suatu pengetahuan tentang budaya etnis, kelompok usia,
kelompok agama dan kelompok tradisi tertentu ditanah air mencegah adanya gegar
budaya, gegar budaya ini terdapat faktor penyebabnya dimana adanya prilaku
rasional, irasional dan non-rasional.5
Beberapa kemungkinan yang didapatkan
bisa menjadi solusi atas masalah yang tengah dibahas diantaranya adalah Menjaga
kelestarian dan kelangsungan nilai norma dalam masyarakat dimulai sejak dini
melalui pendidikan multi kultural, selektif terhadap budaya yang masuk dan
terkahir adalah kekuatan hukum yang mengikat. Dimana hukum sebagai sarana
rekayasa (social engineering by law)
atau juga sebagai alat “agent of change”
yang dalam arti disini adalah seseorang atau beberapa orang sebagai bagian dari
anggota masyarakat yang diberi amanah untuk memimpin lembaga kemasyarakatan
sehingga mempunyai kesempatan untuk mengolah sistem sosial yang bersangkutan
secara teratur dan terencana (social
engineering atau social planning)
dan perubahan tersebut selalu dalam pengawasan agent of change.[5] Sehingga
kejahatanpun dapat diminimalisir dengan faktor
penguatan nilai sosial budaya yang ada dalam masyarakat Indonesia yang dikenal
dengan dengan budaya timurnya yaitu budaya yang menjunjung tinggi terhadap
adat, norma dan juga toleransi dalam kehidupan sehari-hari.
Teori konflik menyatakan bahwa
masyarakat senantiasa bearada dalam proses perubahan yang ditandai oleh
pertentangan yang terus menerus diantara unsur-unsurnya konsep sentralnya
adalah wewenang dan posisi yang keduanya
adalah fakta social.[6]
Presepsi terhadap
ketertiban social dalam kehidupan masyarakat yang mementingkan individualism identic
dengan perlindungan mutlak atas hak-hak asasi individu, dipihak lain persepsi
masyarakat mementingkan kolektivisme terhadap masalah ketertiban social dapat
diambil contoh Negara yang menganut paham sosialisme.[7]
Menurut
Sellin setiap kelompo memiliki conduct normsnya sendiri dimana dimungkinkan
berbeda antara satu dengan yang lain. Seorang individu yang melakukan norma
kelompoknya mugkin saja dianggap telah melakukan kejahatan apabila bertentangan
dengan norma social masyarakat dominan, perbedaan seseorang criminal dan
non-criminal adalah terletak pada perangkat conduct
norm yang dianutnya.[8]
[1] Ende
hasbi Nassarudin, Kriminologi, Pustaka
Setia, Bandung, 2016, hlm.119.
[2] Soerjono
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar,
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm.261.
[3]
Muhhamd Yamin, Tindak Pidana Khusus,
Pustaka Setia, Bandung, 2012, hlm.59.
[4] Diakses
melalui http://langit11.blogspot.co.id/2016/02/kriminologi-budaya.html
Tanggal 05 Januari 2018 Pukul 16.18 WIB.
[6] George Ritzer, Sosiologi
Ilmu Pengetahuan berparadigma ganda,Raja Grafindo, Jakarta, 2014, hlm.25.
[7]
Romli Atmasasmita, Teori dan kapita
selekta Kriminologi, Rafika Aditama, Bandung, 2013, hlm.137.
[8] Topo
Santoso, Eva Achjani Zulfa, Kriminologi,
Raja Grafindo, Jakarta, 2015, hlm.79.
Komentar
Posting Komentar