Penghapusan Pidana Korupsi bagi orang yang telah mengembalikan kerugian Negara
Ibarat
candu, korupsi telah menjadi barang yang membuat ketergantungan bagi para
penikmatnya, di Indonesia budaya korupsi telah mengakar dan dianggap sebagai
sesuatu yang lumrah dan wajar hingga saat ini upaya pemberantasan korupsi
menempuh fase kritis pada upaya penegakan hukum dalam menumpas para koruptor di
Indonesia itu sendiri.
Wujud
dari salah satu upaya pemberantasan korupsi adalah dimunculkan suatu isu
terkait pernghapusan pidana korupsi bagi orang yang telah mengembalikan
kerugian Negara. Namun isu ini menjadi polemic di berbagai kalangan karena sejatinya
tujuan hukum adalah untuk mencapai suatu kepastian.
Terkait
dengan landasan yuridis formal terhadap tindak pidana korupsi adalah terdapat
pada Pasal 2 dan 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun
2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang kemudian dilakukan
judicial review ke Mahkamah Konstitusi dengan Putusan No.25/PUU-XV/2016 yang
berisi penghapusan kata “dapat “ dalam Pasal 2 dan 3 perlihal kerugian Negara.
Terhadap
putusan MK tersebut terdapat putusan yang dissenting
opinions yang mengatakan menghilangkan
kata “dapat” dari rumusan kedua norma
pasal tersebut akan mengubah secara mendasar
kualifikasi delik dari tindak pidana korupsi, dari dari formil menjadi delik materiil. Konsekuensinya, jika akibat yang
dilarang, yaitu “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” belum atau
tidak terjadi meskipun unsur “secara
melawan hukum” dan unsur “memperkaya diri sendiri atau atau orang lain atau suatu korporasi” telah terpenuhi, maka
berarti belum terjadi tindak pidana korupsi. Kata “dapat” tersebut harus
dinilai pengertiannya menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut di atas,
yang menyatakan bahwa kata “dapat” tersebut sebelum frasa “merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara”,
menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut merupakan delik formil, yaitu adanya tindak
pidana korupsi, cukup hanya dengan
dipenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.
Delik korupsi menurut UU No.31 Tahun
1999 Jo UU No.20 Tahun 2001 mengeni kerugian Negara memiliki penjelasan keungan
Negara adalah seluruh kerugian Negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan
ataupun tidak. Unsur kerugaian Negara tidak bersifat mutlak, yaitu bahwa
kerugian itu tidak harus telah terjadi. Sekadar dengan suatu perbuatan
memperkaya dapat dapat merugikan keuangan Negara, perbuatan melawan hukum telah
memenuhi rumusan Pasal ini.[1]
Selanjutnya
adalah terkait dengan mengganti atau mengembalikan kerugian Negara, suatu
pertanyaan menilik adalah bagimanakah prosedur yang akan dilakukan jika adanya
suatu proses pengembalian kerugian Negara terlebih Indonesia memiliki lembaga
Yudisial sebagai tonggak Negara hukum. Pengembalian kerugian Negara yang
kemudian dapat menghapuskan pidana tidak lain bahwa dapat disamakan bahwa Negara
merupakan suatu koperasi untuk simpan-pinjam perbedaanya koperasi
mensejahterahkan anggotanya sedangkan Negara yang menghapuskan pidana dalam hal
pengembalian uang koruspi adalah hanya untuk mensejahterahkan pejabat yang
korupsi. Hal ini sangat bertentangan dengan tujuan pemerintahan yang tercantum
dalam Pembukan UUD NRI 1945 alenia ke-4 “… memajukan kesejahteraan umum..”.
Sejauh
ini tidak ada ukuran pasti terkait dengan penghitungan jumlah pengembalian
kerugian Negara dan lagi-lagi ini merupakan suatu hambatan jika yang dipandang
mengenai kerugian itu hanya bersifat maeriil saja. Negara yang begitu luas dan
keuangannyapun tidak sederhana dalam perhitungannya akan mengahmbat proses
penegakan korupsi di Indonesia yang kian menjalar keberbagai kalangan.
Perbuatan
korupsi dalam istilah kriminologi digolongkan dalam bentuk kejahatan white
collar crime dalam praktik korupsi merupakan tindakan secara langsung ataupun
tidak langsung merugiakan keuangan Negara. Korupsi digolongkan kepada extra
ordinary crime dimana penumpasannya juga harus dilakukan dengan cara yang luar
biasa, hingga kini masyarakat begitu pesimis dan putus asa erhadap upaya
penegakan hukum dalam menumpas koruptor di Indonesia apalagi jika harus
melepaskan koruptor dengan begitu mudah hanya dengan mengembalikan kerugian Negara.[2]
Penjatuhan
sanksi pidana juga bukan untuk memberikan pembalasan kepala pelaku akan tetapi
untuk mengembalikan keseimbangan kosmis yang terganggu akibat tindak pidana,
dalam hal ini tujuannya adalah untuk menciptakan harmoni dalam masyarakat,
pengimbalan dalam pelaku kejahatan. Harmoni merupakan konsepsi abtrak tentang
tujuan hukum pidana yang integralistik.[3]
Pidana
akan tetap dan harus tetap ada meskipun uang hasil korupsi telah dikembalikan. Pemaknaan kerugian
Negara tidak hanya mengenai materi namun juga ada dampak kepada sector lainnya
artinya perlu dilakukan perluasan penjelasan Pasal ketika yang mendapatkan
dampak dari korupsi tersebut, dan lagi imbasnya adalah kepada rakyat.
Komentar
Posting Komentar